Minggu, 14 Maret 2010

Pentingnya ketahanan Nasional dlm menghadapi ACFTA (P.Kewarganegaraan )

Perspektif Hukum Dalam Perjanjian ACFTA

Menindak lanjuti tulisan saya sebelumnya (baca Rencana Renegosiasi perjanjian ACFTA oleh pemerintah Indonesia, Neraca, rabu, 10/2/10)" telah diutarakan pada waktu yang lalu, bahwa dalam kaitan rencana renegosiasi atas perjanjian ACFTA oleh pemerintan, secara hukum akan sulit dilaksanakan. Kesulitan tersebut dikarenakan para pihak yang terlibat dalam perjanjian ini terdiri dari beberapa negara-negara yang bernaung dalam bentuk kerjasama regional ASEAN dan China.

Berdasarkan penelusuran penulis, perjanjian ACFTA ini telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan KEPPRES No.48 tahun 2004 dan mulai diberlakukan pada tanggal 1 januari 2010. Namun yang jadi kendala utama pelaksanaan berlakunya perjanjian ACFTA di Indonesia, bahwa ternyata banyak pihak yang meminta agar waktu berlakunya perjanjian ini agar direnegoisasi kembali oleh pemerintah, yang menurut prediksi para pelaku bisnis dan pemerhati ekonomi Indonesia akan dapat merontokkan ketahanan ekonomi nasional dari serbuan produk China yang masuk ke Indonesia. Selanjutnya, pemerintah akan mengutamakan yang mana, perjanjian internasional ACFTA kah atau tetap memilih renegenoisasi terhadap ACFTA sebagai jalan tengah?

Terkait dengan paparan tersebut di atas, kepastian hukum dalam arti sinkronisasi secara vertikal dan horizontal antar peraturan dan kepastian dalam penegakan (law enforcement) sangat dibutuhkan dalam pengembangan dunia usaha. Dasar hukum pembuatan perjanjian Internasional ditinjau dari sudut pandang hukum nasional Indonesia diatur pada Pasal 4 ayat (1) Undang-undang nomor 44 tahun 2004 tentang perjanjian internasional, memberikan hak kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik.

Selanjutnya pada ayat (2) Dalam membuat perjanjian internasional Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.

Bertolak dari pernyataan Pasal di atas, mencerminkan bahwa Indonesia sangat menghormati asas Sunt Servanda, wajib dihormati dan dilaksanakan dengan itikad baik. Disisi lain pemerintah juga dituntut meletakkan hukum nasional sebagai pedoman dalam merumuskan kebijakan-kebijakannya kedalam suatu perjanjian internasional, memperhatikan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, serta menghormati hukum internasional yang berlaku.

Terkait dengan pembentukan perjanjian internasional tersebut, Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa proses pembuatan hukum harus diawali dengan tahap sosio-politis. Pada tahap ini terjadi pengumpulan gagasan, ide dari masyarakat dan oleh masyarakat melalui pertukaran pendapat antar berbagai golongan dan kekuatan dalam masyarakat. Dimana suatu gagasan akan mengalami ujian, apakah ia akan bisa terus digelin-dingkan atau berhenti di tengah jalan. Pola awal pembuatan hukum seperti ini mutlak menghendaki pendekatan partisipatif dalam perumusan ide atau gagasan, sehingga lebih memungkinkan untuk menyusun secara tepat permasalahan mendasar dan gagasan untuk mengaturnya melalui peraturan hukum. Pertanyaannya bagaimana kalau terdapat persinggungan atau pertentangan ?

Menurut Mohd. Burhan Tsani, Guru Besar Fakultas hukum Universitas Gajah Mada, Permasalahan peng-utamaan dapat diselesaikan dengan menggunakan paham dalam hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Dalam kaitan itu, dikenal ada dua paham hukum yaitu dualisme dan monisme.

Menurut paham dualisme hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hakekat hukum internasional berbeda dengan hukum nasional. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang benar-benar terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Namun secara logika paham dualisme akan mengutamakan hukum nasional dan mengabaikan hukum internasional.

Berdasarkan paham monisme hukum internasional dan hukum nasional merupakan bagian yang saling berkaitan dari satu sistem hukum pada umumnya. Pengutamaan mungkin pada Hukum nasional atau hukum internasional. Menurut faham monisme dengan pengutamaan pada hukum nasional, hukum internasional merupakan kelanjutan hukum nasional. Hukum Internasional merupakan hukum nasional untuk urusan luar negeri, paham ini cenderung mengabaikan Hukum internasional. Lalu Indonesia menganut paham yang mana ?

Jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (2) di atas, pada dasarnya Indonesia menganut paham monisme, karena disetiap perumusan kebijakan politik luar negeri pemerintah wajib berpedoman pada ketentuan hukum nasional, namun disisi lain berdasarkan praktek, Indonesia cenderung pada monisme dengan pengutamaan hukum internasional. Salah satu contoh nyata adalah perjanjian ACFTA kali ini.

Perbedaan sikap pemerintah Indonesia yang bertolak belakang dengan ketentuan UU tersebut, mengindikasikan bahwa Indonesia dalam hal tertentu menganut paham monisme yang menganggap bahwa hukum internasional merupakan bagian dari hukum nasional. Hubungan antara keduanya saling melengkapi. Hal ini tercermin dalam pada apa yang dinyatakan pada Pasal 4 ayat (2) UU No.24 tahun 2004, mengakui adanya persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.

Dalam penekanan Pasal tersebut diatas, mencerminkan sikap Indonesia pada dasarnya mengakui hukum internasional sebagai sumber hukum nasional dengan ketentuan tertentu, sepanjang dianggap tidak bertentangan dengan hukum nasional Indonesia. Sehingga atas penekanan sikap tersebut, khususnya terkait dengan rencana renegosiasi yang akan dilakukan oleh pemerintah Indonesia sudah seharusnya tetap memperhatikan ketentuan perjanjian ACFTA.

Adapun yang perlu diperhatikan selanjutnya oleh pemerintah Indonesia dalam merenegosi-asikan kembali ACFTA dalam lingkup pos-pos tertentu yang dianggap belum siap menghadapi pelaksanaan ACFTA di Indonesia, maka pemerintah dalam pengertian paham monisme yang dianut pada UU No. 24 tahun 2004, khususnya Pasal 4 ayat (2) dapat mengarahkan kepada kesamaan kedudukan dan saling menguntungkan antarnegara peserta. Namun kendalanya adalah UU ini hanya berlaku di Indonesia, maka tugas pemerintah yang paling berat adalah meyakinkan negara sesama anggota ASEAN agar mendukung rencana yang diusung pemerintah Indonesia mengenai ketidak siapan beberapa post yang belum siap sepenuhnya menghadapi akibat dari pelaksanaan perdagangan bebas ACFTA di Indonesia.

Selanjutnya, langkah yang tidak kalah pentingnya adalah membuat aturan yang jelas perihal persamaan kedudukan para negara peserta dalam perjanjian ACFTA ini, demi untuk menghindarkan dominasi negara terkuat khususnya mengenai penentuan harga-harga atas produk barang maupun jasa, (angan sampai Indonesia hanya menjadi Price Taker, sementara Negara Maju menjadi Price Maker.

Menyediakan dan membentuk aturan yang tegas terkait dengan ketentuan standar nasional dari beberapa negara peserta dan ketentuan anti dumping. Sehingga dengan adanya aturan main yang jelas tersebut, akan dapat ditentukan standar minimum yang harus dipenuhi untuk dapat menembus pangsa pasar yang disepakati dalam perjanjian ACFTA, disamping dengan adanya ketentuan yang jelas akan sanksi dan aturan anti dumping juga akan dapat menciptakan fair trade competition dan bukan unfair trade competion. Disinilah fungsi utama pemerintah sebagai pemegang kewenangan atas regulasi, memproteksi ketahanan perekonomian nasional dari gempuran masuknya produk-produk asing ke dalam negeri.

Sumebr :http://community.gunadarma.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar